Ka’bah Untukmu..
Menemukan
Tuhan setiap penjuru bumi, menghadirkan-Nya di setiap relung hati.. kapan saja,
dan dimana saja… karena Dia ada dimana-mana..
Mushola
kecil itu ada di ujung barat desa. Waktu aku masih SD kelas satu aku ingat
betul mushola itu menjadi satu-satunya tempat ibadah warga desaku. Tahun 1985
listrik belum ada disana, warga sholat ditemani dengan lampu minyak yang penuh
jelaga. Tidak ada microphone dan speaker untuk mengeraskan suara imam.
Satu ketika aku ingat momen ketika sholat disana, di waktu Magrib saat hujan
turun, kami sholat berjamaah, suara mbah Amat masih gagah melantunkan Al
Fatehah, hempasan air hujan masuk melalui celah genting yang rapuh, angin yang
lewat membuat api lampu minyak menari-nari, bayangan kami pun seperti menari di
tembok sebelah kiri.
Sebuah
momen yang eksotis… saat itu aku masih
kecil, belum tau bentuk ka’bah yang setiap sholat kami jadikan arah. Mbah Amat
hanya mengatakan, “sholat itu menyembah
Allah, Tuhan yang menguasai alam semesta, kita tidak menyembah ka’bah yang ada
di Mekah. Ka’bah adalah simbol rumah Allah, yang menjadi arah qiblat sholat
seluruh umat manusia agar tertib dan rapi menuju satu tujuan…”
Sampai
sekarang mbah Amat masih menjadi imam, badannya sudah bungkuk, namun setiap
adzan berkumandang dia selalu pertama yang datang. Kakinya belum pernah
menginjak halaman Ka’bah, namun bangunan yang sering dilihatnya di tivi itu
sudah menancap di hati.. dijaganya setiap hari hingga nanti waktunya mati..
----------------------
Waktu
SMP di Jakarta 1992, pernah aku sekolah yang jam belajarnya dimulai jam 1 siang
hingga 5 sore, ada sebuah mushola satu-satunya di sekolahku, setiap istirahat
jam 3 mushola itu dipenuhi siswa yang sholat Ashar. Seluruh sudut mushola itu
dilapisi karpet, tapi entah mengapa bagian kebersihan sekolah tidak terlalu
memperhatikan kebersihannya. Bagian pintu masuk karpetnya sering basah,
mengundang bau yang tidak sedap, ketika puluhan
kaki basah bercampur dengan keringat bersatu di karpet pintu masuk itu.
![]() |
Saat SMP dulu, sholat masih dipantau pak guru.. |
Sering kali setiap sholat jika seminggu karpet belum dikeringkan baunya sampai tercium hingga ke depan. Aku yang ada dibelakang imam pun kadang menciumnya. Waktu itu aku sudah tau foto-foto Ka’bah yang aku lihat di buku pelajaran agama. Bayangannya mulai aku hadirkan setiap aku sholat… Ka’bah yang agung dengan jutaan orang yang tawaf mengelilinginya. Walau dari sudut mushola kecil di sekolah yang karpetnya berbau tak sedap. Aku coba hadirkan Allah yang Maha berkuasa, entahlah kapan aku bisa berangkat sholat di depan Ka’bah yang jauuuuh disana…
-----------------------
Subuh
di wilayah Negare, Bali 1998. Mobil yang kami pakai untuk survei lokasi KKL itu
berhenti usai antri menyeberang pelabuhan Gilimanuk dini hari tadi. Udara yang
menusuk tulang, bukan jadi penghalang saat subuh menjelang. Wilayah Bali bagian
barat itu masih banyak penduduk yang beragama Islam, mushola masih ada di
beberapa titik di jalur utama menuju Denpasar.
Bergegas
kami berlima turun dari mobil, ngantuk mulai menyerang namun kewajiban ini
harus ditunaikan. Mushola itu sunyi di subuh hari, hanya ada tiga orang yang
bersiap untuk sholat subuh, kami segera bergabung mengambil saf satu-satunya di
depan. Aku bayangkan Ka’bah yang jauh disana, arah qiblat yang pagi itu jadi
patokan seluruh muslim menghadap wajahnya untuk sholat mengarah kesana.
Sayup-sayup
tembang mantra Hindu Bali mengalun kejauhan, suaranya begitu magis, menerobos
pohon-pohon sunyi di pagi hari… dan aku tidak paham artinya.
Kami
tertidur di mobil usai sholat subuh itu, sampai semburat matahari pagi
membangunkan kami. Mobil keluar dari halaman mushola, berjalan pelan menuju
Denpasar. Di sudut jalan ada plang bertuliskan “tersedia babi guling” dengan
gambar babi gemuk warna pink yang lucu dan menggemaskan…
-----------------------
Perbukitan
Bayat Klaten, tahun 2000 yang panas. Kelompok KKL Kuliah Kerja Lapangan kami
diberi tugas menghitung tinggi bukit, dan mencari jalur paling cepat menuju titik
yang telah ditentukan. Sejak pagi kami membawa waterpass, yalon, theodolit,
alat-alat yang biasa digunakan di ilmu ukur tanah. Bayu yang ada di depanku
tampak kelelahan, wajahnya yang hitam bertambah semakin legam siang ini. Kawan
kuliahku yang kelak kukenal sebagai ahli kelautan yang sering berbicara di
forum seminar.
Masih ada satu bukit lagi yang harus kami ukur,
melewati jalan berbatu, menembus rumah-rumah sederhana di dusun itu.
Siang semakin panas, adzan dzuhur berkumandang
dari mushola di bawah sana.
“ayo
yu.. Sholat dulu.. “ kataku
“ayok
sap, di atas ada pancuran air tadi aku lihat” jawabnya
Ada
sebuah gubuk kecil di atas bukit ini, kanan kirinya terhampar tanaman kebun
yang ditanam para petani, dari singkong, ketela, cabai.. gubuk ini jadi tempat
istirahat mereka ketika menggarap ladangnya.
Air
yang sejuk ditengah panas matahari, menyiram dahi, telinga, hidung, tangan dan
kaki.. seluruh wajah terbasuh, keringat lepas satu-persatu.
“Allahuakbar…”
Sholat kami mulai
Aku
hadirkan Ka’bah di bukit itu, seolah ada di depan mataku. Menghadap Allah
dimanapun berada, menghadirkan sang pencipta yang sampai siang ini mengijinkan
aku menghirup udara bebas sebanyak-banyaknya.
----------------------
Pulau
Samalona yang indah di tahun 2009, butuh 45 menit perjalanan dengan perahu dari
kota Makassar Sulawesi Selatan. Jika mengingat pulau ini pasti generasi 90’an
pasti inget lagu almarhum Imanez, Samalona
Beach.. Satu dari cintaku jadi milikmu.. reage slow yang melodius.
Usai
event wirausaha mandiri di Makassar aku dan kawan-kawan memutuskan untuk ke
Pulau Samalona. Menurut kawan disana pulau ini begitu indah dan tenang, cocok
untuk sekedar snorklingatau berjemur
di pasir pantainya. Ada beberapa rumah warga yang jadi pengelola disana. Semua
serba tradisional, belum ada campur tangan pemda untuk menggarap potensi
wisatanya.
Dengan
dua perahu kami meluncur menuju ke sana pagi itu, Samalona menyambut kami
dengan pasir landai, ombak yang tenang serta langit biru tak berbatas. Tak
perlu dikomando, usai perahu merapat langsung kami berebut alat snorkling, lalu berebutan menceburkan
diri ke laut biru. Ikan-ikan berebut roti yang kami sebarkan, di
pinggiran pantainya saja ikan-ikan sudah bermunculan tanpa kami harus memakai
perahu dan bergerak ke tengah. Mengapungkan badan ke atas serileks mungkin
sambil memandang langit, membuat siapapun yang datang kesini bisa terobati
semua kejenuhan di hati.
“hoi
sekarang hari jumat lho… istirahat dulu yuk! Jumatan” ajak Hafiz
“ooo
iya, ada masjid gak ya disini?” jawabku
kami beranjak ke tepi, mandi bergantian lalu
berjalan masuk ke dalam lokasi rumah-rumah penduduk, ada sebuah mushola kecil
dan satu-satunya di sana,dindingnya kusam dengan karpet yang sudah menua.
Bersama beberapa warga kami langsung berjamaah sholat jumat, ada sekitar 40an
orang sehingga sebagian sholat dengan menggelar tikar di luar. Jika harus
sholat di masjid yang besar warga Samalona memang harus menyebrang ke Makassar,
hingga keberadaan mushola ini jadi tempat berkumpul setiap hari.
Suara
ombak mengalun bersama air yang tenang, angin semilir berhembus hingga ke dalam
mushola. Sesekali kicau burung laut terdengar.. begitu tenang tempat ini.
Kuhadirkan Ka’bah di depan mata, membuat link
kepada Allah yang Maha Kuasa. Ditempat yang jauh dan terpencil ini kami sholat
dengan nyaman, tanpa ada desingan peluru dan rudal yang mengganggu..
Sore hari kami pamitan untuk kembali ke
Makassar, seorang ibu menerima uang yang aku bayarkan untuk ikan-ikan bakar
yang tadi kami makan.
“Bapak-bapak ini asalnya dari mana ya?”
tanyanya polos
“saya dari Jogja bu…” jawabku
“waah.. saya pengen sekali bisa kesana..” sahut
si ibu dengan wajah tersenyum,
-----------------------
Bukan
sekali waktu aku dan kawan-kawan pergi ke tempat diving, pulau yang harus di
tempuh dengan perahu. Bunaken di Manado dan Gili Air di Lombok pernah
kusinggahi. Tempat-tempat yang jauh dari keramaian, tenang dan menghanyutkan
sekaligus penuh godaan syaitan. Jika terlalu asik mengapung di atas air hingga
berjam-jam kadang lupa bahwa waktu sholat telah di terjang.
Ketika
di Bunaken sangat susah menemukan mushola, kami mencari ruangan kecil di depan
ruang ganti untuk bisa lapor diri di depan Illahi. Sementara di luar ruangan
anjing pemilik perahu bebas berkeliaran. Mondar mandir dari halaman rumah
hingga nangkring di atas batang bakau di pinggir pantai.
Begitu
juga di Gili Air, satu dari gugusan Gili (pulau) di Lombok sisi barat itu.
Warung-warung kecil yang ada di sepanjang pantai dipenuhi bule-bule yang santai
dengan botol beer warna hijau di tangannya. Ada sebuah pondokan sepi yang kami
pakai untuk sholat, di terasnya ada tikar lusuh yang kami jadikan alas. Ku
hadirkan Ka’bah saat itu, setor wajah dan absen diri pada Illahi Robbi. Suara
bule yang berteriak-teriak di pantai sungguh mengganggu suasana, mungkin dia
baru saja di ceburkan paksa oleh kekasihnya.
--------------------
Pantai
Lampuuk di wilayah Aceh Besar, selatan kota Banda Aceh sudah kembali pulih usai
bencana tsunami 2006 lalu. Wilayah itu luluh lantak, ribuan nyawa melayang
disana, hanya 700an jiwa yang selamat. Sore ini aku menginjak pasir di pantai
itu, matahari menjelang tenggelam. Seandainya aku membayangkan saat itu tsunami
datang setinggi pohon kelapa, maka hidupku mungkin berakhir disini. Walau sudah
empat tahun berlalu, aura kengerian masih tergambar. Pak Amir mengajakku untuk
sholat Magrib di masjid Rahmatullah,
masjib bantuan dari pemerintah Turki yang dibangun tahun 1997, jauh sebelum
tsunami terjadi. Kami melewati hutan kecil, tanaman yang rimbun di sana-sini,
jalan masuk perkampungan yang penuh pepohonan. Hingga di ujung jalan masjid
megah itu berada. Masjid yang besarrr.. jika ada di kota propinsi bisa dikira
sebagai masjid Agung yang bisa menampung 2000an jamaah sekaligus.
Masjid
ini adalah bangunan yang tersisa di daerah itu karena tsunami. Bangunan lain
tak bersisa sama sekali, foto Masjid Rahmatullah yang tetap berdiri di tengah2
bekas hantaman tsunami banyak beredar di internet. Masjid yang ajaib, Allah
seperti menyisakannya sebagai pesan untuk umat manusia.
Kuambil
wudhu, lalu bergabung dengan dua saf yang berbaris di bagian depan. Ka’bah aku
hadirkan di pelupuk mata, mengarah ke satu tujuan Lillahitala.. Kekuasaan Allah
meliputi langit dan bumi, mudah bagi Allah menjaga bangunan ini utuh dihempas
gelombang yang sangat tinggi.
Imajinasiku
pun melayang tinggi, takbir demi takbir, rakaat demi rakaat, seolah air yang
deras mengantam di kanan kiri bangunan masjid saat itu. Aku dan dua saf jamaah
ini seolah tidak terganggu, karena aku yakin hanya Allah lah yang menjaga
segala sesuatu..
Hongkong International Airport, 2012
Usai
sudah acara empat hari yang kami ikuti di Macau, aku dan empat orang kawan dari
Wirausaha Muda Mandiri mengikuti Asia Pacific Entrepreneur Forum disana. Tidur
di hotel mewah yang bawahnya penuh casino, tiket pulang pergi gratis semua
dijamin. Gayanya pas disana foto di depan casino, sementara penjaganya yang
berbadan besar memakai jas dan dasi kupu-kupu melirik kami penuh curiga… hehehe
Pagi
itu kami cekout dari hotel di Macau, lalu lanjut dengan jetboat, kapal ferri
cepat menuju Hongkong. Dua negara berbeda yang akan bergabung penuh dengan RRC
nantinya. Macau jajahan Portugis dan Hongkong jajahan Inggris, walaupun sudah
di kembalikan ke RRC namun sistem administrasi negaranya sangat berbeda, mata
uangnya pun berbeda.
Di
bandara megah Hongkong itu kami celingukan, mencari tempat untuk sholat.
Mushola tidak ada.. apalagi masjid hanya angan-angan belaka.
“Mas,
kita sholat di sini aja yuk.. dalam kondisi darurat diperbolehkan kok..” kata
Elang
“Oke..
yuk jamaah saja disini, biarin dilihatin orang.. hehe” kataku
Akhirnya kami sholat bersama sambil duduk,
mengambil arah mendekati kiblat melalui petunjuk kompas di handphone. Ini
negeri antah berantah yang tidak mengenal agama kami, bahkan banyak yang tidak
mengakui adanya Tuhan dalam hidupnya, atau masih menyembah patung yang dianggap
Tuhan dalam budaya mereka. Lakum dinukum
waliadin.. Bagiku agamaku, bagimu agamamu. Kuhadirkan Ka’bah di ujung mata,
menghadap satu titik untuk menembus langit. Hari
ini kami jauuuh dari rumah, jauuuuh pula dari Ka’bah.. namun yang aku sendiri
yakini, Allah tetap hadir disini. Tanpa
ijin Nya pesawat besar di luar kaca itu tak akan sanggup menyebrang lautan
untuk mengantar kami pulang.
![]() |
Hongkong Airport, sholat di ruang tunggu tanpa musholla |
-------------------
Maret
2013…. Mekah, bumi para Nabi…
Mataku
aku kedipkan berulang kali, Ka’bah ada di depan mataku. Benar tepat di depan
mataku, bukan lagi seperti yang aku bayangkan sejak kecil dulu, angan-angan
sebuah bangunan yang dibangun oleh tangan para Nabi, yang dulu hanya aku lihat
di foto dan di buku, kini benar-benar ada di depanku.
Empat
hari sudah aku di Mekah, ini adalah tawah wada.. tawaf perpisahan. Nanti usai
Dzuhur kami harus bergerak menuju Jeddah, malam hari pesawat besar membawa kami
untuk pulang.
Kulangkahkan
kaki di halaman Ka’bah, pagi yang cerah, suasana sunyi tidak seramai biasanya.
Hamparan halaman Ka’bah yang putih, hanya ada jamaah di beberapa sudut, serta
sebagian tawaf tanpa terlalu
berdesak-desakan. Kemana jamaah yang kemarin menyemut itu? Kemana
puluhan ribu manusia yang kemarin berebut memegang Ka’bah itu?
Aku mengambil posisi memulai sholat Dhuha, hari ini
ku tuntaskan 12 rakaat, kupuaskan di depan Ka’bah langsung, di tempat dulu para
Nabi juga berdoa, ditempat jutaan manusia datang dari seluruh penjuru dunia.
Pagi ini Ka’bah seperti untukku…
Allah seperti memberi ku hadiah di saat perpisahan ini. Sholat pagi itu begitu
aku nikmati, terbayang semua tempat yang sudah kuinjak, kujadikan tempat
sholat. Tanah dimana kuratakan dahiku, sebagai bentuk takhlukku padaMu.
Setiap gerakan aku nikmati,
terbayang ketika aku menggambarkan bentuk Ka’bah dalam angan-angan di awal
belajar sholat di mushola tua. Ketika Ka’bah aku hadirkan di sebuah bukit, di
pinggir pantai, di lereng gunung, di mushola sempit di gang kumuh, atau Ka’bah
yang aku bayangkan ketika sedang sholat di atas ketinggian dalam balutan
pesawat yang melaju cepat, Ka’bah yang aku bayangkan ketika sholat di kapal
Ferry saat melintas selat Bali. Semua seperti film yang diputar kembali,
perjalanan panjang seorang manusia lemah yang hanya menyembah pada Illahi
Robbi.
Tawaf wada sudah aku tunaikan,
ratusan doa sudah aku panjatkan, saatnya untuk meneruskan perjalanan,
kulambaikan tangan pada bangunan yang kelak akan hancur yang terakhir kali di
saat hari kiamat nanti.
“Wahai
Allah Tuhanku… aku pamit pulang hari ini untuk melanjutkan hidupku… melanjutkan
tugas dariMu agar aku terus beribadah hingga akhir hayatku, meneruskan pesan
kanjeng Nabi agar aku mencapai tujuan paling mulia menjadi manusia yang
bermanfaat untuk sesama.
Wahai Allah Yang Maha Pengampun.. ampuni seluruh hidupku, penuhi hati
ku dengan rindu tak berkesudahan hanya kepada-Mu, sayangi aku dalam langkah
yang penuh dengan rahmatMu setiap saat setiap waktu…
Wahai Allah Tuhanku..
ijinkan aku nanti melihat Ka’bah
Mu lagi…”
Mekah Al Mukaromah…
hari ini aku pamit pulang ke rumah…
Semoga Allah kelak juga menjadikan Ka’bah untukmu..
Jogjakarta 15 November 2013
22 komentar untuk "Ka’bah Untukmu.."
terimakasih telah berbagi
liked
Mohon maaf saya menyampaikan hal ini melalui comment blog, karena tidak ada media lain yang bisa saya gunakan untuk menghubungi anda. saya salah satu kurir pada gerakan yang anda buat, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan:
1. pada saat dokumentasi pasien, apakah pasien memiliki hak untuk menolak ? jika iya, bagaimana informed consent yang semestinya kurir lakukan ?
2. kemudian apabila pasien menolak untuk di dokumentasi, lalu bagaimana cara transparansi dan memberi bukti kepada para sedekaholic bahwa sedekahnya telah tersampaikan ?
3. karena berdasarkan undang-undang kesehatan, kode etik kedokteran dan kode etik rumah sakit, dokter dan Rumah Sakit wajib merahasiakan penyakit pasien, kemudian masalah dokumentasi tersebut, pasien harus memberikan informed consent lalu barulah boleh di dokumentasikan.
4. namun fenomena yang saya lihat, para kurir tidak melakukan informed consent dengan benar, kemudian menyebarkan foto, identitas pasien dan penyakit pasien tanpa sensor atau insial, hal ini sangat melanggar privasi pasien pak.
5. jadi saya harapkan sistem kurir ini dapat diperbaiki segera, kemudian saya pernah membicarakan hal ini dengan salah satu koordinator kurir, beliau mengatakan sudah ada 11,000 pasien yg ditangani dan tidak menolak, dan beliau juga mengatakan SR sudah mendapat ACC dari dinkes nasional, kemensos, dan sudah berkonsultasi dengan kepala humas rs se indonesia
6. yang ingin saya tanyakan lagi, apa yang di ACC ? apakah ijin untuk dokumentasi atau apa ? mohon hal ini dapat di clear kan, karena ini merupakan hal yang sangat penting, kemudian koordinator yang saya ajak diskusi ini juga mengatakan, di SR nasional juga banyak dokter kok, jikalau memang banyak dokter, mengapa hal sepele seperti privasi pasien ini tidak dibenahi kalau memang banyak dokter ? saya tahu pasti, dokter selama kuliah juga diajarkan tentang kode etik dan hukum kesehatan, semestinya hal ini dibenahi
Ijin Share mas CERITA ISLAMI MASA KINI