Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tabungan di Kuburan

"Hartamu yang tidak pernah habis adalah yang kau belanjakan di jalan Allah" begitu kata pak Guru.

Jatinom Klaten, 9 September 2011
Hari sudah rembang petang, matahari sudah memancarkan sinar orange berkilau di horison barat. Kupacu mobilku menyusur jalan di pedalaman Klaten itu, dari Salatiga menuju Jogja. Aku belum sholat Ashar, Ibu dan Istriku sudah menjamak sholatnya di Salatiga tadi. Ada sebuah masjid kecil dipinggir jalan, kebutuhan ini harus kutunaikan. Aku sholat di pendopo luar masjid yang sunyi itu.. selesai di rakaat terakhir aku tercenung dengan apa yang ada di depanku, sebuah kotak infak yang berbentuk seperti batu nisan kuburan. Bentuknya yang unik seolah-olah mengingatkan jamaah, "hayooo nabung, ini yang akan menemanimu di kuburan nanti"
Aku tersenyum, takmir tidak perlu bikin tulisan himbauan untuk sedekah. Bagi yang terbuka hatinya, kotak infak ini sudah bercerita dengan jelasnya ketika dia diedarkan ketika sedang Jumatan. Seorang guru pernah mengingatkan, “menabunglah engkau disetiap Masjid yang engkau singgahi, kapan saja engkau sholat disitu. Jadikan Masjid itu ladangmu menanam benih pahala, hingga dia akan bercerita untukmu di akhirat sana..” Alhamdulillah, aku sudah bisa rutin melakukannya tanpa harus menunggu hari Jumat datang menyapa. Aku ingin menabung di masjid manapun yang aku singgahi, aku belum mampu bikin masjid sendiri, minimal aku bisa urunan untuk membeli semeter persegi keramik lantainya atau membayari listriknya.. Insya Allah malaikat tetap tidak segan mencatatnya…

Hari semakin sore, jalur alternatif menuju Klaten itu mulai lengang menjelang petang…



---------------------
Ambarukmo Plasa Jogja, Februari 2009
Aku baru menaiki tangga jalan di lantai 2 ketika tiba-tiba didepanku ada sosok yang lama aku kenal. “waaah… halo Mas Yuwana Arifin!! Pripun mas Kabare??” sapaku
Dosen ISI Jogja yang juga konduktor itu menoleh padaku.
“haha.. halo Sap, baik-baik.. kapan ada event lagi? Lama gak ketemu kita”
Kami ngobrol di samping eskalator itu diantara pengunjung mall yang lalu lalang. Yuwana Arifin ini aku kenal sejak 2004 lalu, dia dosen musik sekaligus konduktor di kampus para seniman Jogja. Sosoknya sederhana, terlihat dari baju yang dipakainya. Aku pernah dua kali mengundangnya jadi juri festival band yang diadakan EO tempatku bekerja dulu.
Obrolan kami terhenti ketika dia pamit pulang dulu, itulah terakhir aku melihatnya. Sekitar bulan April 2009 aku baca di koran kalo Mas Yuwana meninggal dunia, aku gak sempat ikut mengantarnya ke makam. Semoga Allah selalu melapangkan kuburnya…

------------------------
Kudus, Medio 2009
Soto bu Ramidjan kemepul di depanku, hari ini aku main ke kudus, menengok cabang Kedai Digital disana. Adjie WD mitraku disana ngajak nongkrong di Soto legendaris itu.
“ini pakai daging kebo mas.. rasanya bedakan dengan soto yang bukan asli Kudus!”
“mantab ji! Ada sate ususnya juga ya!” kataku
Adjie asli Jogja, ini bekerja di kantor pajak Semarang, tapi dari dulu tinggal di Kudus. Dia nyambi buka Kedai Digital di kudus sambil tetap kerja di Semarang. Setahun sejak makan di Kudus itu Adjie pamitan, dalam emailnya dia menulis: “mas, Aku pengen suatu saat nanti gabung lagi dengan keluarga yang hangat dan bersemangat di Kedai Digital, Saat ini aku pamit dulu mas Kedai Digital Kudus  aku alihkan ke kawanku yang tinggal di Kudus. Pekerjaanku di Semarang membuatku sangat terbatas ngurusi Kedai Kudus jadi gak maksimal jalannya”
Ketika selesai MOU serah terima kepemilikan Kedai Digital Kudus, Adjie menyalamiku dengan erat. “Suwun ya mas untuk semuanya, mohon maaf kalo ada yang salah” dia lalu pamit dan melambaikan tangan dari dalam mobil APVnya.
Beberapa bulan kemudian, sebuah SMS masuk ke HPku, “Innalillahi wa Innailaihi Rojiun, telah meninggal dunia WD Adjie tadi malam di Semarang..”
…………………………
Aku turut bertakziah di rumahnya di daerah Prambanan Jogja, Al Fatehah aku sertakan ketika keranda itu melewatiku menuju mobil yang mengantarkannya ke Wonosari, tempat jasadnya dikebumikan. Semoga Allah selalu melapangkan kuburnya….

---------------------------
Gedongkuning Jogja, 2009
Namanya Tri, aku lebih sering memanggilnya Paijo!... Jo piye Jo! Sapaku kalo bercanda. Dia masih jadi mahasiswa abadi di UNY. Pekerjaannya sebagai editor video multimedia. Setiap aku main ke ruang editingnya, dia selalu pamer teknologi baru dalam dunia rekam merekam!
“iki sap! Aku dari dulu udah bikin rekaman acara manten selalu wawancara dengan tamu-tamu yang datang! Biar seru dan gak mboseni!” katanya di suatu siang.
Tri Paijo ini memang pekerja kalong! Kadang dia tidak tidur hanya untuk mengawasi proses rendering video yang kejar deadline. Asap rokoknya yang tebal sering mengepul di ruangannya.
“mas Saptu, Mas Tri sudah gak ada, tadi malam pulang dari UNY naik sepeda, sampai rumah ngeluh masuk angin, habis itu muntah-muntah gak sadar, wiss bablas mas..!”
SMS yang masuk pagi itu mengejutkanku.
Jam sudah jam setengah 5 sore, gelap di langit bertambah muram dengan gerimis sore itu. Aku turut mengantarkan Paijo ke makam di Berbah Jogja. Calon istrinya terus menerus  menangis si sisi makam. Ketika jenazah diturunkan, semua kamera video yang dulu dia banggakan ternyata tidak ikut dikuburkan.. Semoga Allah selalu melapangkan kuburnya.

------------------------
Jalan Gayam Jogja, 2000
Kios Waton T-Shirt siang itu gayeng, ada aku, Mas Adest, Dibyo Primus, Mas Jito, dan Heru. Kami ngobrol santai sambil baca-baca koran. Sepulang kuliah aku sering nongkrong di Waton untuk belajar jualan stiker. Tahun segitu belum ada HP yang merajalela apalagi Blackberry. Bisnis stiker masih jadi booming di Jogja, yang ditempel memenuhi helm helm ciduk yang dipakai anak SMA.
Mas Adest adalah pemilik kios Waton, dia salah satu guruku yang mengajari bisnis stiker yang bisa kutekuni saat kuliah dulu. Bisnis itu pula yang membuatku bisa membiayai kuliahku sendiri tanpa harus meminta pada ibuku.
Obrolan kami terhenti ketika mas Adest mengeluh kepalanya pusing, dia pergi ke warung sebelah dan minta dikeroki. Hanya 15 menit tiba-tiba yang punya warung teriak-teriak..
“eh mas, tulung tulung… iki Adest kenopo! Kok langsung rasadar!”
Kami semua kalang kabut, aku segera mencari taksi. Dengan kondisi tidak sadar mas Adest dibopong ke dalam taksi, aku duduk disamping sopir yang langsung ngebut menuju  RS Bethesda. Heru yang duduk di belakang sambil memangku mas Adest, sekali-kali berusaha disadarkan tapi tak ada respon. Sampai di Bethesda langsung masuk ruang gawat darurat, lalu dipindah di ICU. Obrolan siang itu adalah yang terakhir, 3 hari kemudian mas Adest meninggal. Aku turut mengantarnya hingga ke makam. Ketika jenazah diturunkan mas Wibie Mahardika yang waktu itu penyiar top di Radio Geronimo melompat ke bawah, dengan suara bergetar dia mengazankan jenazah itu. Maut ternyata begitu dekat dengan siapa saja.. datang kapan saja… semoga Allah selalu melapangkan kuburnya.
----------------------
Aku ingin selalu mengenang para sahabat yang pernah aku kenal, namun mereka sudah mendapat panggilan duluan dari Tuhan. Nomer mereka di HPku tidak pernah kuhapus, tapi nama mereka semua kutambah dengan Alm didepannya. Ini adalah sebuah pengingat sederhana untukku, bahwa 2700 orang yang ada di kontak HPku semua akan mendapat gelar yang sama di depan namanya, termasuk aku… yaitu Alm.. Almarhum, tinggal kita semua antri nunggu urut siapa yang dipanggil duluan… gak bisa menghindar, gak bisa mengelak kapanpun dimanapun…




Aku hanya berfikir, apa yang sedang dirasakan kawan-kawanku yang sudah tiada.. mereka semua orang baik yang meninggalkan nama baik kepada orang-orang yang disekitarnya. Pak guru juga pernah mengingatkan, ada 3 hal yang akan menemani manusia di Kubur sana… yaitu Doa anak yang Sholeh, Ilmu yang Bermanfaat yang diajarkan, dan Amal Jariyah. Hanya itu saja ternyata.. sebelum amal sholeh dihisab, tiga hal itu yang pertama menemani di Alam Kubur.
Aaah… semoga pak Guru benar, menabung di Masjid yang dikunjungi bisa menjadi sedekah dan amal jariyah yang menemani di kubur nanti. Aku dan kamu pasti mengerti, di Kubur tidak ada laptop untuk internetan dan Blackberry… sepi hanya kita sendiri…

-------------------------
Aku ketika sholat Jumat di Masjid Alfalah desaku sering pakai kaos oblong tanpa kantong, hawa panas sering membuatku tidak nyaman ketika di Masjid itu, karena di kanan kiri tidak ada jendela yang langsung terbuka ke udara luar, karena sudah dibangun ruang-ruang untuk anak-anak TPA. Uang sedekah jumat biasanya aku selipkan diantara lipatan sarung dipinggangku biar mudah ketika aku ambil. Orang di sampingku datang dengan baju koko rapi dan wangi, sarungnya mengkilat bersih dan terlihat suci. Pecinya hitam legam seperti yang dipakai para mentri. Kusudorkan kotak infak yang telah kuisi ke depannya… dia tersenyum dan menggeser kotak itu kepada orang yang duduk disebelah kanannya, tanpa sempat mengisinya..
Aaah mungkin orang itu lupa bawa uang kecil…. Atau mungkin uang besarnya sudah disumbangkan ke Masjid yang lain…
Muadzin berseru iqomat, Sholat jumat akan segera dimulai… panas di luar tetap membuatku kegerahan..

*Diketik di Kamarku, Dibaca dimana Sadja…
10 September 2011

16 komentar untuk "Tabungan di Kuburan"

Anonim 11 September 2011 pukul 00.07 Hapus Komentar
urip tansah mampir ngombe
Goestiie 11 September 2011 pukul 00.08 Hapus Komentar
Ga bisa ngomong apa apa lagi. . :|

tulisannya keren !!
Sukses Batik 11 September 2011 pukul 00.45 Hapus Komentar
Almarhum artinya "yang dirahmati"...

Semoga kita bisa menjadi insan yang kelak mendapat rahmat Alloh.
dobelden 11 September 2011 pukul 05.20 Hapus Komentar
ada satu nama yg membuat saya mrinding, alm Singgih gamatech, sehari sebelum mas singgih dipundut yg maha kuasa, saya menjenguknya di IRD Jantunng Sardjito. Ada misi yg tertunda bersama mas singgih karena beliau sudah mendahului kita.

Alfatihah
pakbudi 11 September 2011 pukul 05.31 Hapus Komentar
sap,
kalo bisa tambahkan teman kita yang satu lagi, Alm. Arry Pratama Noor Ramadhan. Ari Kabul PPW'98
Andika Hendra Mustaqim 11 September 2011 pukul 07.55 Hapus Komentar
merinding baca tulisane jenengan.... semua ada feedback
Noviyanti Santoso 12 September 2011 pukul 10.49 Hapus Komentar
Mas..berhasil membuatku sesenggukan!!Jlebb..teguran, pegingat,matur nuwun..
Anonim 16 September 2011 pukul 16.37 Hapus Komentar
tur nuwun mas, wis di-elingke
Wilem 17 September 2011 pukul 08.29 Hapus Komentar
Subhana Allah,terima kasih Mas karena tulisan-tulisan kamu banyak meberi 'nasehat' kepada kami semua yang membacanya.
http://Wilemmaualana.blogspot.com
Alaska Tehnik 17 September 2011 pukul 15.18 Hapus Komentar
Betapa selembar nyawa ini tidak bisa kita pertahankan bila ALLAH sang MAHA MEMILIKI telah berkenan memanggil,, anyway tulisan dari keseharian, sederhana, tapi sangat menyentuh sanubari,, dalem banget! Terima kasih Master Saptuari sdh memberi pencerahan,,
Wulan Dalu 20 September 2011 pukul 16.22 Hapus Komentar
tulisannya sederhana tapi bermakna
masih harus belajar meringankan tangan untuk mengisi kotak itu dimanapun singgah untuk menunaikan kewajiban
suwun mas
ibe 24 September 2011 pukul 10.53 Hapus Komentar
subhanallah,
menginspirasi sekali mas saptu,
Simply Fresh Laundry Palembang 27 September 2011 pukul 16.21 Hapus Komentar
Walah nancep langsung di hati mas Saptuari.

Nabung terus buat dunia, tapi lupa nabung untuk sepetak tanah 1x2 meter.

Terima kasih inspirasinya =)
fauzi 28 Oktober 2011 pukul 23.49 Hapus Komentar
Subhannallah,mas Saptuari dan rekan rekan...begitu lihat kick andy,langsung aku buka blognya mas...semoga saya bisa belajar walau hanya melalui tulisan indah mas saptuari..Insyaallah..amin.

Regard
abdi tunggal 29 Oktober 2011 pukul 21.55 Hapus Komentar
subhannallah.. mas anda mmg orang hebat. trm ksh telah memberi pencerahan pd km.
Anonim 9 Februari 2012 pukul 00.13 Hapus Komentar
tak pernah bosan baca.
Saya Masih belajar untuk ringan tangan mas saptu.
Semga mas saptu semakin ringan juga dalam mengayomi semua sodara. Kisah nya bikin galau kalau ga infaq. Thanks buat kata yg mengingatkan mas.